Banyak perusahaan menganggap melakukan tanggung jawab sosial atau corporate social responsibility (CSR) adalah demi membangun citra. Oleh karena motivasi tersebut, CSR biasanya diletakkan di bawah departemen hubungan masyarakat (humas). Sebenarnya CSR merupakan upaya menciptakan dampak (positive impact building) untuk komunitas dan perusahaan. Dengan demikian CSR adalah suatu keputusan strategis.
Apa sebenarnya motivasi perusahaan melakukan CSR? Perilaku perusahaan terhadap CSR dapat dihubungkan dengan beberapa teori motivasi, yakni motivasi intrinsik (normatif) dan ekstrinsik (instrumental).
Motivasi intrinsik mendorong seseorang/perusahaan membahagiakan orang lain karena kepuasan dan kebahagiaan bagi diri sendiri. Jadi, ada suatu ikatan emosi untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan orang lain. Dalam konteks perusahaan, “orang lain” adalah para pemangku kepentingan.
Jadi, menurut teori intrinsik, motivasi melakukan CSR adalah dorongan memenuhi norma-norma sosial dan kewajiban moral perusahan terhadap para pemangku kepentingan, tanpa memerhatikan imbalan yang akan diterima perusahaan. Oleh Minoja dan Zollo (2010), motivasi ini sebaiknya menjadi tujuan yang harus dicapai perusahaan dalam melakukan CSR.
CSR yang dilakukan berdasarkan motivasi instrumental (ekstrinsik), menurut Waddock & Graves (1997) dan Orlitsky et al (2003) dapat meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko, meningkatkan reputasi, serta meningkatkan komitmen karyawan dan produktivitas. Pada akhirnya, CSR bermotivasi ekstrinsik ini dapat meningkatkan harga saham perusahaan. Jadi, CSR digunakan sebagai instrumen untuk mendapat imbalan berupa keunggulan bisnis perusahaan.
Menurut Minoja, terdapat dua pendekatan dalam motivasi instrumental, proaktif dan defensif. CSR dengan motivasi instrumental proaktif merupakan strategi mencapai keunggulan kompetitif, sedangkan pencitraan merupakan motivasi instrumental defensif.
Tindakan Pencegahan
Jika motivasi perusahaan adalah pencitraan, CSR dilakukan sebagai strategi. Namun, dampaknya bersifat jangka pendek, bahkan bisa menjadi bumerang. Misalnya, kegiatan filantropi karena permintaan masyarakat, akan membuat perusahaan diperlakukan sebagai automated teller machine (ATM). Jika CSR dilakukan karena tuntutan masyarakat alias karena perusahaan defensif atau reaktif, masyarakat akan kembali menuntut perusahaan dengan alasan berbeda.
Yang benar adalah CSR dengan motivasi instrumental proaktif, sebagai tindakan pencegahan sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Akan tetapi, kadang perusahaan juga perlu melakukan CSR reaktif. Misalnya, jika ada demonstrasi dari masyakarat karena provokasi. Dalam kasus ini, CSR perlu dilakukan kepada pihak-pihak yang diprovokasi agar mereka tidak mudah terbujuk, bahkan melindungi perusahaan. Jadi, CSR reaktif kadang diperlukan guna menghindari interupsi bisnis dan risiko negatif.
CSR juga perlu didesain saat perusahaan akan membuka investasi baru seperti membangun pabrik atau melakukan eksplorasi. Jadi, ada tiga alasan mendesain CSR: proaktif, reaktif, dan investasi baru. Masing-masing alasan ini butuh tools (alat) berbeda.
CSR proaktif dilakukan dengan menjalankan due diligence dalam konteks ISO 26000. Due diligence menurut ISO 26000 dilakukan dengan mengidentifikasi komprehensif dampak negatif keputusan dan kegiatan perusahaan yang dapat memengaruhi lingkungan hidup, ekonomi, dan aspek sosial.
Namun, penting mengidentifikasi dampak positif agar perusahaan tahu dampak positif apa yang perlu ditingkatkan dan dampak negatif apa yang harus dikurangi atau dihilangkan melalui kegiatan CSR. Dampak tersebut harus diidentifikasi pada seluruh aspek rantai nilai yang mencakup pemasok, input, proses, produk, dan konsumen. Yang dimaksud dengan input adalah bahan baku, tenaga kerja, uang, waktu, pengetahuan, dan kompetensi. Proses mencakup seluruh fungsi manajemen, termasuk kondisi fisik pabrik maupun kantor, sedangkan produk dapat berupa barang dan jasa.
CSR reaktif dapat dilakukan khusus kepada para pemangku kepentingan yang mempunyai ketiga karakteristik ini: kekuasaan/kekuatan, legitimasi, dan urgensi. Pemangku kepentingan yang mempunyai kekuasaan/kekuatan dapat terdiri dari pemda, serikat pekerja, asosiasi masyarakat adat, atau lembaga swadaya masyarakat seperti Greenpeace.
Pemangku kepentingan berlegitimasi adalah mereka yang mempunyai kekuatan hukum atau yang dapat menuntut perusahaan secara hukum: pembuat kebijakan, serikat buruh. Urgensi adalah mereka yang jika tidak ditanggapi, dapat seketika merugikan perusahaan, misalnya membakar pabrik atau mogok.
Jadi, perusahaan harus khusus mendesain program CSR yang sesuai dengan kebutuhan pemangku kepentingan yang memiliki semua karakteristik tersebut. Jika pemangku kepentingan hanya mempunyai satu karakteristik atau dua karakteristik (contoh: legitimasi dan urgensi), bukan merupakan target CSR perusahaan.
Pemetaan Sosial
Jika perusahaan ingin berinvestasi di tempat baru, perusahaan perlu melakukan pemetaan sosial dalam arti luas (comprehensive social mapping). Cakupan dalam pemetaan ini antara lain kondisi sosial, isu/persoalan yang sedang dialami masyarakat, para pemangku kepentingan utama (priority relevant stakeholders), isu yang beredar, dan kebutuhan masyarakat (social, issues, stakeholder and needs mapping). Jadi, pemetaan yang luas cakupannya, yakni demografi, geografi, pemangku kepentingan relevan: tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh preman; isu yang beredar, potensi daerah: alam, modal sosial, budaya; dan kebutuhan masyarakat: air bersih, irigasi, pendidikan kesehatan.
Khususnya mengenai pemetaan kebutuhan, sebaiknya perusahaan tidak hanya mengandalkan hasil FGD (focus group discussion). Ini karena dalam FGD kadang yang diperoleh adalah daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan masyarakat. Hal ini karena FGD yang efektif sebenarnya harus memenuhi persyaratan minimal: kesetaraan posisi dan pendidikan. Jika ada anggota masyarakat yang diundang dalam FGD yang tidak punya pendidikan formal meski dia adalah tetua, akan malu berbicara jika dalam FGD ada peserta yang merupakan penduduk desa dengan pendidikan sarjana. Jika dalam FGD terdapat Pak Lurah, masyarakat takut berbicara hal-hal yang berhubungan dengan pemerintah, misal tentang korupsi atau fasilitas masyarakat, seperti sampah yang tidak dibersihkan, tidak adanya posyandu, puskesmas, air bersih, atau irigasi.
Maka pendekatan pemetaan isu dan kebutuhan masyarakat sebaiknya melalui difusi ke pemangku kepentingan (stakeholder diffusion) seperti etnografi. Dalam stakeholder diffusion, para peneliti harus tinggal bersama masyarakat selama beberapa minggu, mengikuti gaya hidup mereka. Tujuannya membangun kepercayaan, sehingga masyarakat tidak sungkan dan tidak merasa terancam dalam menyampaikan keluhan maupun kebutuhan mereka.
Dengan menggunakan tools yang tepat perusahaan akan mendapat gambaran lengkap, sehingga dapat mendesain program CSR yang menciptakan dampak tepat sasaran kepada pihak yang tepat serta dapat terukur dampaknya. CSR menjadi keputusan dan tindakan strategis perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif dengan tujuan normatif, yakni memenuhi kewajiban moral dan norma-norma sosial.
*Penulis adalah Direktur Program MM-CSR di Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di http://cetak.shnews.co/web/read/2013-03-13/9134/motivasi.tanggung.jawab.sosial.perusahaan#.UYi7HaKmhJ4
Bergabunglah dengan kami @