Keuangan inklusif merupakan suatu keadaan di mana semua orang mempunyai akses jasa keuangan yang berkualitas dengan biaya terjangkau dan cara menyenangkan, tidak rumit, serta menjunjung harga diri dan kehormatan.
Di Indonesia, lebih dari 120 juta warga tidak mempunyai akses pada jasa perbankan. Menurut Global Financial Inclusion Index dari Bank Dunia tentang keuangan inklusif di Indonesia, pada 2011 hanya terdapat 15 persen dari total penduduk di atas usia 15 tahun yang mempunyai rekening simpanan di bank. Penyebab rendahnya partisipasi masyarakat pada akses keuangan dan perbankan di antaranya adalah faktor usia, pendidikan, dan lokasi geografis.
Pada usia muda banyak warga yang belum berhubungan dengan bank karena mereka belum mempunyai pekerjaan. Selain itu, dalam hal pendidikan, makin rendah tingkat pendidikan warga, akan makin “jauh” mereka dari perbankan. Selanjutnya, terkait aspek lokasi geografis, warga yang tinggal di daerah terpencil otomatis akan makin sulit mendapatkan akses keuangan/perbankan. Menurut laporan G-20 tahun 2011, penyebab usaha kecil dan menengah (UKM) kurang memiliki akses keuangan di antaranya adalah kecilnya nilai transaksi sehingga tidak dapat dilayani bank, kurangnya transparansi, keterbatasan jasa keuangan, serta kurangnya informasi.
Transparansi
Dalam hal transpraransi, perbankan biasanya mensyaratkan UKM memberikan dokumentasi jaminan, laporan keuangan, dan lainnya untuk mendapat kredit, sedangkan UKM biasanya tidak mempunyai catatan lengkap. Selain itu, pada umumnya jasa keuangan diciptakan hanya untuk perusahaan besar, kurang ada alternatif pembiayaan untuk kredit kecil-kecilan sehingga UKM memiliki keterbatasan terkait jasa keuangan. Selanjutnya, informasi tentang layanan perbankan juga sulit diperoleh mereka yang tinggal di daerah terpencil, termasuk UKM.
Menurut ”Booklet Perbankan Indonesia” yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI) di April 2012, terdapat lima pilar keuangan inklusif, yakni edukasi dan perlindungan konsumen; pemetaan informasi keuangan; fasilitasi intermediasi; saluran distribusi; dan regulasi yang mendukung. Bentuk kegiatan yang telah dilakukan BI di antaranya adalah memasukkan pengetahuan tentang keuangan dalam kurikulum SD dan SMP di beberapa kota besar; melakukan kajian atas pemberian peringkat pada UMKM dengan tujuan membantu UMKM mendapat akses pada pinjaman; menjembatani BPR dengan Bank Umum serta nasabah mikro; serta merencanakan kebijakan dan infrastruktur untuk branchless banking.
Belajar dari Negara Lain
Mari kita pelajari apa yang telah dilakukan negara lain dalam upaya meningkatkan akses masyarakat marginal (di desa dan daerah pelosok) yang tidak mempunyai akses pada jasa perbankan/keuangan. Di Inggris, strategi meningkatkan keuangan inklusif dilakukan melalui pengembangan Koperasi Kredit (Credit Union). Koperasi Kredit oleh negara Inggris diakui sebagai lembaga yang dapat menghapus kemiskinan. Melalui koperasi kredit yang didirikan para sukarelawan pada 1980-an, masyarakat Inggris yang berpenghasilan rendah dan hidup berdasarkan transaksi tunai dapat terhindar dari “lintah darat” yang selalu memberikan pinjaman dengan bunga 200 persen. Jika di Inggris berhasil, di Indonesia perbankan juga dapat mengembangkan keuangan inklusif yang cocok untuk konteks Indonesia dengan membangun kemitraan antara perbankan dengan koperasi kredit. Perbankan dapat bekerja sama dengan Induk Koperasi Kredit Indonesia (Inkopdit) untuk membantu mengembangkan koperasi kredit di daerah-daerah terpencil. Hasil penelitian Collard et al (2003) menunjukkan bahwa masyarakat terpencil lebih suka bertransaksi dengan lembaga komunitas lokal seperti koperasi.
Mereka takut dengan bank, karena bank mereka anggap sebagai lembaga elite yang mahal yang hanya dapat diakses orang berduit. Bermitra dengan Inkopdit sangat penting, karena mereka mempunyai sistem jaringan yang sangat baik. Inkopdit mengkoordinasi pusat koperasi kredit (Puskopdit) di seluruh Indonesia, yang juga mengoordinasi koperasi primer.
Perlu Kreativitas
Puskopdit mempunyai anggota koperasi primer, sedangkan koperasi primer beranggotakan individu. Bentuk koordinasi berupa permintaan laporan keuangan setiap tahun dari para anggotanya. Jadi, koperasi primer setiap tahun wajib memberi laporan kepada Puskopdit, dan Puskopdit wajib melaporkan kepada Inkopdit.
Selain itu, jasa audit dan pendampingan manajemen diberikan Puskopdit kepada para anggotanya, yakni koperasi primer. Jadi, kecil sekali kemungkinan ketua koperasi kabur membawa uang anggotanya.
Jika citra koperasi jelek di daerah tertentu, pendirian koperasi jangan diberi label koperasi, tetapi dapat menggunakan nama lain dan tetap menggunakan sistem koperasi. Misalnya di daerah Dago Pakar, Bandung, terdapat koperasi simpan-pinjam yang diprakarsai Mohammad Zaini, seorang wirausaha sosial. Koperasi tersebut diberi nama Lumbung Rereongan karena citra koperasi secara umum di daerah tersebut kurang baik. Jadi, mengembangkan koperasi juga perlu kreativitas.
Contoh kreativitas lain adalah membuat sistem pinjam-simpan pada koperasi dengan cara anggota dapat meminjam uang terlebih dahulu untuk memulai suatu usaha, kemudian hasil produksi mereka dijual melalui koperasi dengan sistem bagi hasil. Jadi, hasil penjualan dipotong jumlah cicilan pinjaman dan pembagian keuntungan dengan cara, misalnya 20 persen keuntungan untuk koperasi, sisanya untuk anggota yang bersangkutan.
Cara ini telah berhasil dilakukan Koperasi Vila Hutan Jati yang diprakarsai seorang wirausaha sosial bernama Budi Krisnawan. Sistem pinjam-simpan di koperasi ini dilakukan dengan alasan utama memberikan akses kepada orang miskin untuk dapat menjadi anggota koperasi. Ini karena orang miskin tidak punya uang untuk membuat simpanan ke koperasi sebagai langkah awal menjadi anggota.
Beri Modal
Kemitraan juga dapat diwujudkan dengan cara memberikan modal kepada koperasi kredit untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat di daerah terpencil. Membantu koperasi kredit melakukan transaksi jasa keuangan secara pooling, misalkan melalui jasa transfer; akun tabungan; pembayaran listrik, dan telepon. Jadi, perbankan dapat memberikan akses kepada koperasi kredit untuk menjadi perantara melakukan transaksi dengan masyarakat marginal.
Dengan cara ini biaya operasional perbankan tidak akan terlalu tinggi, selain dapat memberi pendapatan tambahan kepada masyarakat terpencil yang menjadi anggota koperasi berupa dividen setiap akhir tahun dalam bentuk sisa hasil usaha (SHU). Untuk itu, perbankan dapat menciptakan nilai bagi kedua belah pihak: kepada perusahaan dalam bentuk tambahan pendapatan dan nasabah, kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan ekonomi dan kemandirian keuangan. Penciptaan nilai ini merupakan salah satu tujuan tanggung jawab sosial.
Pendekatan holistik untuk keuangan inklusif yang direkomendasikan Barclays; sebuah grup bank yang telah beroperasi selama 300 tahun di Eropa, Amerika, Afrika dan Asia adalah konsultasi perorangan, nasihat keuangan, bantuan pembuatan anggaran, fasilitas simpanan, pendidikan tentang keuangan, dan akses kepada pinjaman dengan biaya terjangkau. Dalam konteks ini, perbankan dapat memberikan pendidikan kepada koperasi kredit tentang jasa keuangan tersebut serta akses dan teknologi untuk mewujudkannya.l
*Penulis adalah Direktur Program Studi Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Bergabunglah dengan kami @