Perusahaan pada umumnya belum menganggap penting evaluasi pelaksanaan kegiatan tanggung jawab sosialnya.
Pada umumnya ukuran evaluasi pelaksanaan tanggung jawab sosial aatau corporate social responsibility (CSR) berdasarkan output (hasil), bukan outcome (dampak). Misalnya, ukuran yang biasa digunakan adalah berapa jumlah program, berapa jumlah karyawan yang terlibat dalam program, atau berapa jumlah desa serta komunitas penerima program.
Perusahaan umumnya belum mengukur seberapa jauh dampak yang telah diciptakan oleh program atau kebijakan CSR yang telah dilaksanakannya. Padahal, dampak itu dapat dievaluasi melalui audit terkait hubungannya dengan tujuan bisnis dan para pemangku kepentingan perusahaan.
Tiga Hal Utama
Minimal, terdapat tiga hal utama yang penting diperhatikan dalam membuat sistem audit CSR, yakni dampak pelaksanaan CSR pada proses pencapaian tujuan bisnis perusahaan; dampak kegiatan CSR pada pemangku kepentingan internal dan eksternal; serta dampak kegiatan CSR pada proses pencapaian keberlanjutan.
Dalam mempersiapkan sistem audit, perlu dipertimbangkan adanya berbagai persepsi atas arti dan dampak CSR. Pemimpin perusahaan mungkin mempunyai orientasi utama pada dampak CSR terhadap bisnis perusahaan, sementara karyawan mengutamakan dampaknya terhadap kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pemangku kepentingan eksternal ingin perusahaan memperhatikan kebutuhan mereka, terutama dalam peningkatan keuangan rumah tangga.
Dengan demikian perusahaan harus membuat indikator yang mencakup persepsi berbeda-beda tersebut. Jika persepsi salah satu pemangku kepentingan dianggap salah, misalnya persepsi oknum pemerintah daerah (pemda) yang menganggap bahwa CSR adalah sumber anggaran daerah, perusahaan sebaiknya menyusun strategi untuk mengubah persepsi itu. Ini adalah pekerjaan yang sangat menantang.
Mesin ATM
Salah persepsi lain yang umumnya dihadapi korporasi adalah perusahaan dianggap mempunyai kewajiban menyediakan lowongan pekerjaan pada masyarakat sekitar. Selain itu, perusahaan juga dianggap sebagai “mesin ATM” yang punya banyak uang sehingga banyak pungutan tidak resmi yang dilakukan oknum pemerintah setempat. Hal ini yang kemudian menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan, yang pada umumnya dibebankan sebagai biaya CSR.
Ada pembelajaran yang bisa diperoleh dari suatu perusahaan multinasional di daerah Jawa Timur, yang berhasil mengurangi dampak “tekanan” dari oknum. Caranya dengan menerapkan sistem tata kelola secara sangat ketat. Perusahaan ini memperlakukan “pungutan” tersebut sebagai biaya transaksi atas jasa yang akan disediakan pemungut. Untuk itu, perusahaan meminta pihak yang melakukan pungutan agar mempersiapkan proposal kegiatan dan membuat laporan kegiatan yang akan diperhitungkan sebagai “jasa”. Misalnya, perusahaan meminta laporan disertai dengan dokumentasi (foto-foto) pelaksanaan kegiatan. Ternyata, cara tersebut cukup mampu meredam paksaan berupa pungutan liar.
Sistem seperti itu dipersiapkan perusahaan untuk menangani risiko terjadinya pembebanan biaya yang terlalu tinggi untuk perusahaan, khususnya biaya untuk tanggung jawab sosial.
Tingkatkan Harga Saham
Oleh karena tidak dapat dihindari bahwa tujuan bisnis perusahaan adalah meningkatkan harga saham, CSR perlu dievaluasi apakah dapat meningkatkan harga saham perusahaan. Harga saham sebenarnya ditentukan permintaan atas saham perusahaan. Makin banyak investor yang berminat membeli saham perusahaan, harga saham akan meningkat. Yang perlu dicermati adalah apakah yang menyebabkan harga saham meningkat adalah faktor internal atau faktor eksternal perusahaan?
Pembahasan kali ini akan terfokus pada faktor internal, yakni penciptaan keuntungan melalui peningkatan penjualan dan reputasi perusahaan. Jika reputasi perusahaan meningkat dengan adanya kegiatan CSR, kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan penjualan. Di sisi lain, keuntungan juga meningkat jika terdapat penghematan. Dengan program dan kebijakan CSR yang tepat, biaya relasi dengan pemangku kepentingan pun akan dapat dihemat sehingga dapat menurunkan biaya total.
Terdapat beberapa jenis audit CSR yang dapat dilakukan perusahaan, yakni audit sosial, lingkungan, finansial; serta audit internal dan eksternal. Jika audit internal dijalankan perusahaan, audit eksternal dilaksanakan pihak ketiga di luar perusahaan. Jika audit finansial lebih mudah mengukurnya karena sangat kuantitatif, audit nonfinansial dari CSR cukup rumit, karena sangat kualitatif. Akan tetapi, bukan tidak mungkin audit kualitatif CSR tersebut juga dikuantitatifikasi.
Aspek Keberlanjutan
Menurut Compass Atkisson (2008), audit dampak bisa mengacu pada aspek keberlanjutan yang dapat dipergunakan juga dalam CSR, yakni ekonomi, masyarakat, lingkungan, dan kebahagiaan (wellbeing). Audit ini dapat dilakukan berdasarkan indikator masing-masing aspek.
Indikator ekonomi di luar ukuran yang biasa digunakan adalah tata kelola perusahaan, kejelasan sistem manajemen, serta kejelasan sistem penghargaan dan sanksi, dan lainnya. Yang cukup menantang adalah indikator kebahagiaan. Indikator ini menggambarkan kesejahteraan individu, di antaranya kesehatan, ketenangan hidup, rasa aman, akses terhadap pendidikan, serta kepercayaan diri.
Indikator society di antaranya adalah kerukunan warga, tingkat kesehatan masyarakat, kemudahan akses memperoleh pelayanan kesehatan, serta tingkat perhatian/pelibatan masyarakat dalam program-program CSR yang dilakukan perusahaan.
Persoalannya adalah bagaimana membuat kebijakan atau program CSR yang baik. Menurut peneliti audit CSR, Risako Marimoto, terdapat enam aspek penting yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan CSR, yakni pengelolaan pemangku kepentingan, kepemimpinan perusahaan; bagaimana pemimpin memprioritaskan CSR; integrasi CSR dalam kebijakan perusahaan dalam semua tingkatan dan divisi dalam perusahaan; pemahaman terhadap regulasi; serta pelaksanaan CSR yang berkoordinasi dengan lembaga nonpemerintah, masyarakat, dan pemerintah setempat.
*Penulis adalah Direktur Program Magister Management-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Bergabunglah dengan kami @