Keberhasilan suatu strategi atau program CSR juga harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan para penerima program, termasuk yang menjalankannya.
Dalam konteks keberlanjutan, Alan Atkisson memperkenalkan ukuran keberhasilan suatu strategi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dengan menggunakan kompas, yang biasanya terdiri dari utara, barat, timur, dan selatan. Tetapi, oleh Atkisson, kompas ini dimodifikasi menjadi Nature, Wellbeing, Economy, dan Society, atau lingkungan hidup, kebahagiaan, ekonomi, dan masyarakat.
Aspek wellbeing (kebahagiaan) mulai menjadi perhatian dunia sejak Kerajaan Buthan pada 2005 menggunakan Indeks Kebahagiaan (Gross National Happiness) untuk menggambarkan kesejahteraan individu dan sebagai salah satu indikator keberhasilan suatu daerah. Jadi, keberhasilan suatu daerah tidak hanya dilihat dari gross national product (GNP), tetapi juga dari keseimbangan perkembangan materi dan spiritual, perlindungan lingkungan hidup, dan kebudayaan. Sebagai contoh, pemerintah negara ini melarang merokok di seluruh negeri dan melarang pembelian plastik, serta mewajibkan setiap penduduk menanam minimal 10 pohon setiap tahun.
Indikator Subjektif
Ukuran kebahagiaan versi Buthan ini berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan, pemeliharaan dan penguatan budaya, pelestarian lingkungan, serta tata kelola yang baik. Keberhasilan negara yang selama ini dikaitkan dengan akuntansi, seperti pendapatan, produksi (Produk Nasional Bruto/PNB), pembelian, utang, ternyata kesemuanya tidak dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan, ketidaksetaraan, pendidikan, kohesi sosial, ketenteraman, maupun kesehatan.
Daniel Kahneman, pemenang hadiah nobel karena prestasinya menyatukan ilmu psikologi dengan ekonomi, dalam bukunya Wellbeing menyarankan penggunaan indikator subjektif untuk mengukur kebahagiaan sebagai dasar proses penetapan kebijakan bagi pemerintah. Sementara itu, seorang ekonom terkenal di Inggris, Richard Layard, menyatakan kebahagiaan harus menjadi tujuan utama kebijakan pemerintah, seperti layaknya target PNB.
Di Inggris sejak 2010, Perdana Menteri David Cameron memutuskan menggunakan indeks kebahagiaan dalam menentukan kebijakan pemerintah. Sebanyak 81 persen penduduknya setuju dengan ide bahwa target utama pemerintah seharusnya pencapaian kebahagiaan yang sebesar-besarnya, bukannya kekayaan yang sebesar-besarnya. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga memperkenalkan indeks kebahagiaan yang diukur dari kohesi sosial, kesempatan memperoleh lapangan pekerjaan, kesehatan, kebebasan berpolitik, dan rendahnya tingkat korupsi.
Mentalitas Inferior
Di Indonesia, kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) alih-alih menimbulkan kebahagiaan ternyata justru menimbulkan banyak persoalan, seperti kecemburuan sosial yang dapat merusak kohesi sosial dengan menciptakan mentalitas inferior (minder) dan mentalitas pengemis. Keresahan masyarakat di Indonesia, misalnya yang ditimbulkan oleh konflik antarpartai politik, konflik dalam pemilihan pemerintah daerah, dan konflik geng motor dapat mengurangi kebahagiaan masyarakat dan individu.
Demikian juga dengan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang memberikan pinjaman lunak kepada usaha kecil dan menengah. Pinjaman semacam ini sebenarnya dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Misalnya, pinjaman lunak dan pendampingan berupa pendidikan kewirausahaan dan manajemen yang diberikan kepada 12 pembuat dan pedagang keripik. Dari 12 produsen dan pedagang keripik yang didampingi tersebut ternyata hanya tiga produsen dan pedagang saja yang sukses. Dengan begitu, kesuksesan tiga orang tersebut dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi pedagang keripik lain yang tidak sukses.
Pentingnya Koperasi
Ceritanya akan berbeda bila pinjaman misalnya diberikan kepada semua pedagang tersebut dan kemudian mereka dibina untuk membentuk koperasi. Bisnis keripik akan dimiliki semua anggota koperasi tersebut sehingga semua anggota akan melindungi bisnis keripik tersebut agar sukses, karena mereka semua adalah pemilik, dan kesuksesan atau kegagalan bisnis akan mereka tanggung bersama. Faktor inilah yang dapat menciptakan kerekatan sosial di masyarakat.
Keberhasilan suatu strategi atau program CSR juga harus diukur berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan para penerima program, termasuk yang menjalankannya. Contohnya adalah adanya program pemberdayaan wanita untuk kewirausahaan yang sukses di suatu daerah. Program ini ternyata menimbulkan konflik dalam keluarga, karena suami merasa minder dengan keberhasilan ekonomi istrinya. Kondisi semacam ini menunjukkan program CSR tersebut sejatinya tidak berhasil karena kebahagiaan tidak terwujud sepenuhnya bagi mereka yang menjalankan program.
Di dalam konteks ISO 26000, kata wellbeing dicantumkan enam kali untuk lima subjek tanggung jawab sosial, yaitu (1) hak asasi manusia (HAM), yakni hak atas ekonomi, sosial, dan budaya yang layak; (2) praktik ketenagakerjaan, di mana organisasi diharapkan memperhatikan isu kondisi tempat kerja, perlindungan sosial, kesehatan dan keselamatan kerja; (3) melalui pengembangan tenaga kerja khususnya dengan cara memberi pelatihan di tempat kerja; (4) perlindungan terhadap lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan restorasi habitat, di mana perusahaan harus membina ekosistem yang sehat; serta (5) perlindungan terhadap konsumen di mana organisasi harus memelihara lingkungan untuk kesejahteraan generasi mendatang.
Salah satu tujuan melakukan CSR adalah mengurangi interupsi operasi perusahaan (business interruption). Menurut penelitian di Universitas Harvard, jika perusahaan memberi kesempatan kepada para karyawannya untuk belajar dan bertumbuh dalam karier, organisasi akan mengalami kemajuan (Spreitzer & Porath, 2012). Hasil penelitian menunjukkan karyawan yang bahagia ternyata lebih produktif dibandingkan dengan karyawan yang tidak atau kurang bahagia. Berkat karyawan yang bahagia, kinerja perusahaan dapat meningkat 16 persen, dan 32 persen lebih karyawan mempunyai komitmen pada perusahaan, serta 46 persen lebih puas dengan pekerjaan mereka.
Menurut Spreitzer dan Porath, kebahagiaan karyawan dapat diukur dari sejauh mana mereka berkembang (thriving), di mana mereka tidak hanya merasa puas dan produktif, tetapi juga terlibat dalam mewujudkan masa depan diri mereka dan perusahaan.
Terdapat dua komponen penting dalam thriving, yakni vitalitas dan pembelajaran. Vitalitas adalah perasaan bersemangat, hidup, dan gembira, sedangkan pembelajaran diperoleh karena karyawan memperoleh ilmu dan keahlian yang baru. Karyawan yang mempunyai vitalitas akan menularkan energi positif kepada karyawan lainnya. Dengan demikian mewujudkan kebahagiaan melalui tanggung jawab sosial merupakan tanggung jawab masing-masing organisasi, perusahaan, dan pemerintah untuk mewujudkannya.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Bergabunglah dengan kami @