ISO 26000 adalah pedoman, bukan standardisasi pelaksanaan tanggung jawab sosial (TJS) untuk semua jenis organisasi, baik yang mencari keuntungan maupun yang tidak.
Dalam ISO 26000 dijelaskan adanya tujuh subjek utama ruang lingkup TJS, yakni tata kelola perusahaan, hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, lingkungan hidup, praktik operasi yang adil, isu konsumen, serta pengembangan dan pelibatan komunitas.
Akan tetapi, tata kelola dalam diagram ISO 26000 merupakan subjek utama yang mengatur pelaksanaan subjek lainnya, sehingga kedudukan tata kelola menjadi sangat penting karena harus dilaksanakan organisasi dan secara bersamaan merupakan sistem yang mengatur bagaimana organisasi bertanggung jawab sosial terhadap subjek utama lainnya.
Artikel ini tidak membahas tata kelola perusahaan, tetapi tata kelola dalam organisasi nirlaba yang merupakan bagian dari organisasi sektor ketiga (OST). Hal ini penting karena di Indonesia sudah terdapat kode etik pelaksanaan tata kelola perusahaan (Code of Good Corporate Governance/GCG), sedangkan untuk OST belum ada. Pernah, pada awal 2000, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) memprakarsai pembuatan kode etik tata kelola untuk LSM, namun kurang disosialisasikan dan akhirnya menghilang dari peredaran.
Menurut ISO 26000, tata kelola adalah suatu sistem yang mengatur bagaimana keputusan dibuat dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi.
Organisasi merupakan kelompok individu yang membentuk suatu sistem sosial. Agar organisasi dapat hidup dan berkelanjutan, harus merespons perubahan yang terjadi dalam lingkungan tempatnya berada. Respons dihasilkan kultur dalam organisasi tersebut, yakni nilai dan norma-norma para individunya.
Nilai dan Norma
Nilai merupakan apa yang dianggap penting, sedangkan norma menentukan sikap apa yang dianggap benar. Dengan demikian, perumusan tata kelola organisasi yang sangat penting adalah menentukan nilai etis dan norma-norma. Menurut ISO 26000, nilai-nilai etis yang harus dianut adalah kejujuran, kesetaraan dan integritas, dan sikap yang mencerminkan niai-nilai tersebut adalah yang dianggap pantas.
Selain itu, terdapat prinsip-prinsip yang harus dianut dalam pelaksanaan tata kelola (governance). Dalam pedoman tata kelola perusahaan di Indonesia terdapat prinsip: transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab (responsibility), independensi, kewajaran, dan kesetaraan. Sementara itu, pada prinsip-prinsip governance dalam tata kelola publik (GPG = good public governance) terdapat prinsip demokrasi, akuntabilitas, budaya hukum, kewajaran, dan kesetaraan. Dengan demikian, dalam tata kelola organisasi, minimal terdapat dua prinsip, yakni akuntabilitas dan transparansi.
Akuntabilitas lebih luas dari tanggung jawab. Akuntabilitas menurut Finer (1940) adalah bagaimana organisasi merespons permintaan dari pihak luar untuk membuat pertanggungjawaban. Sementara itu, tanggung jawab menurut Friedrich (1941) berkaitan dengan moralitas dan etika profesional dari individu dalam mempertanggungjawabkan tindakannya. Jadi, akuntabilitas mencakup tanggung jawab.
Jika individu dalam organisasi secara moral tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya, secara organisasi otomatis tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakan yang diambil terhadap pihak luar. Sementara itu, transparansi bukanlah berarti buka-bukaan, tetapi penyediaan informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang relevan.
Transparansi OST
Dalam suatu penelitian di Indonesia terhadap seratus organisasi sektor ketiga atau OST (LSM, perkumpulan, yayasan, ormas, dan serikat pekerja), diketahui bahwa persoalan utama tata kelola OST adalah transparansi dan akuntabilitas terhadap para konstituennya (pemangku kepentingan yang utama). Persoalan yang berhubungan adalah korupsi yang banyak dilakukan LSM yang tidak mempertanggungjawabkan laporan keuangannya secara jelas.
Belum ada kasus persoalan korupsi dalam LSM yang diusut secara tuntas. Kebanyakan mereka menjadi watch-dog (pengawas) bagi perusahaan maupun lembaga pemerintahan atas korupsi, tetapi belum ada yang mengawasi korupsi mereka. Selain itu, banyak juga aktivitas LSM yang menjalankan propaganda LSM asing yang dapat mengganggu ketenteraman masyarakat. Hal ini menunjukkan mereka tidak mempunyai akuntabilitas terhadap publik. Dalam konteks ISO 26000, LSM sebenarnya juga harus bertanggung jawab atas dampak dari aktivitas serta keputusan yang dilakukan dan diambil anggota organisasinya.
Kalau perusahaan jelas harus akuntabel terhadap pemilik, alasannya, karena mereka yang menyediakan modal utama. Persoalannya LSM sebagai bagian dari OST harus bertanggung jawab kepada siapa? Hakikatnya OST didirikan atas dasar suatu visi dan misi yang akan dicapai. Untuk itu, dalam menjalankan aktivitas dan pengambilan keputusan harus merujuk pada visi dan misi organisasi. Pertanggungjawaban adalah terhadap konstituen (pemangku kepentingan utama), dan publik.
Modal utama LSM pada awalnya berasal dari pendiri dan selanjutnya dari lembaga donor, baik asing maupun lokal. Oleh karena dana yang diperoleh dari lembaga donor biasanya berupa hibah, LSM yang kebanyakan berbadan hukum yayasan harus bertanggung jawab kepada publik. Oleh sebab itu, dalam kerangka UU No 28/2004 tentang Perubahan UU No16/2001 tentang Yayasan, organisasi yang memperoleh dana hibah di atas Rp 500 juta wajib mengumumkan ke publik laporan keuangannya melalui surat kabar berbahasa Indonesia.
Mekanisme Informal
Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa tata kelola dalam OST berkaitan dengan pemeliharaan hubungan antara pelaku organisasi dan para konstituennya. Hal ini dalam tata kelola harus diatur dalam penentuan struktur kepengurusan, sehingga terdapat keterwakilan pemangku kepentingan. Selain itu, terdapat aspek lain tata kelola OST yakni peran dan tanggung jawab anggota pengurus; proses kegiatan dan pengambilan keputusan, serta hubungan antara pengurus dan manajer dalam organisasi. Keempat aspek tersebut harus dijalankan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Dalam ISO 26000 dikatakan bahwa tata kelola dapat berbentuk formal, yakni yang mempunyai struktur kepengurusan, dapat pula bersifat mekanisme informal. Dari hasil penelitian ditemukan mekanisme informal tata kelola dalam banyak OST informal adalah melalui pengambilan keputusan oleh seorang yang mempunyai karisma, yang menjadi kekuatan “mengemudikan” jalannya organisasi (driving force). Pengambil keputusan tersebut biasanya tidak terdapat di dalam struktur kepengurusan, tetapi sangat memengaruhi penentuan aktivitas organisasi.
Dari uraian tentang mekanisme tata kelola tersebut (Radyati, 2010), tata kelola dapat dijadikan strategi organisasi melalui penentuan keterwakilan konstituen dalam kepengurusan, yakni penentuan board composition (komposisi kepengurusan), sehingga organisasi dapat tetap mempertahankan dan memperoleh sumber modalnya. Misalkan dengan menempatkan orang-orang yang mempunyai jaringan luas terhadap penyedia sumber dana. Agar dapat bersaing dengan organisasi lain, perlu diperjelas board roles and responsibilities (peran dan tanggung jawab anggota pengurus).
Sementara itu, profesionalisme aktivitas manajerial dan proses pengambilan keputusan yang demokratis harus diatur dalam SOP (standard operating procedures) untuk para anggota pengurus, yang merupakan bagian dari board process (proses kepengurusan). Terakhir, sistem pengawasan terhadap manajer yang diserahi tanggung jawab pelaksanaan kegiatan organisasi harus diatur yang jelas, sehingga manajer tidak bertindak untuk kepentingan sendiri, tetapi sesuai dengan amanah yang ditetapkan dalam visi dan misi organisasi.
*Penulis adalah Direktur Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini dapat pula dibaca di: http://www.sinarharapan.co.id/content/read/tata-kelola-dalam-konteks-iso-26000/
Bergabunglah dengan kami @