Undang-undang No. 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin lahir sebagai inisiatif DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Rancangan undang-undang ini disetujui dalam rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 21 Juli 2011 dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 18 Agustus 2011. Untuk mengimplementasikan undang-undang penanganan fakir miskin ini, Kementerian Sosial berupaya untuk menerbitkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari undang-undang fakir miskin tersebut.
Menilik adanya kaitan yang erat antara pelaksanaan CSR dengan isi undang-undang No. 13 Tahun 2011, maka MM-CSR Universitas Trisakti menyelenggarakan kajian akademik terhadap isi undang-undang tersebut. Diharapkan kajian ini dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam menggodok peraturan pemerintah terkait dengan undang-undang No. 13 Tahun 2011 tentang Fakir Miskin. Kajian ini membahas pasal-pasal dalam undang-undang No. 13 Tahun 2011 yang disinyalir akan memiliki dampak negatif bagi salah satu maupun beberapa kelompok masyarakat.
Kajian ini dipimpin oleh Maria R. Nindita Radyati, Ph.D (Direktur Program MM CSR Unversitas Trisakti) dan dihadiri oleh Djalal (Lingkar Studi CSR) dan para pelaku CSR yang sebagian besar adalah mahasiswa MM-CSR dari berbagai latar belakang profesi baik swasta, BUMN maupun Kementerian. Diskusi yang dilakukan di Kampus MM CSR di Menara Batavia, Jl. KH Mas Mansyur, Jakarta ini diikuti kurang lebih 20 peserta.
Dari diskusi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa undang-undang No. 13 Tahun 2011 memiliki banyak hal yang harus dicermati, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Dalam undang-undang No. 13 Tahun 2011, perusahaan perseroan dan pelaku usaha menjadi salah satu dari sumber dana penanganan fakir miskin, dimana dana ini dianggap sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosialnya.
Peran serta masyarakat terutama perusahaan perseroan dan pelaku usaha dalam penanganan fakir miskin dapat memberikan pengaruh positif, yaitu menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk peduli kepada fakir miskin dan orang tidak mampu. Namun demikian ada pengaruh negatif yang tidak dapat dielakkan, diantaranya:
- Pemerintah dapat memaksa perusahaan perseroan dan atau pelaku usaha untuk menyerahkan dana CSR-nya dan menjadikan hal ini sebagai suatu kewajiban. Padahal CSR pada hakekatnya bersifat sukarela (voluntary).
- Mekanisme penyerahan dana seperti ini dapat mematikan daya kreatifitas perusahaan dan atau pelaku usaha dalam mengembangkan CSR yang memiliki nilai tambah bagi masyarakat.
- Hal ini juga dapat membuat perusahaan dan atau pelaku usaha menjadi malas untuk mengembangkan CSR-nya karena penyetoran dana kepada pemerintah sudah dianggap cukup.
- Hasil pendataan pemerintah yang tidak akurat akan berdampak pada tidak tersalurkannya bantuan bagi mereka yang sungguh-sungguh membutuhkan, sehingga bantuan menjadi tidak tepat sasaran. Seringkali perusahaan memiliki data yang lebih baik dan akurat mengenai lingkungan sekitar perusahaan dibandingkan data pemerintah.
- Di samping itu, mekanisme pemberian dana tersebut disinyalir juga dapat memberikan ruang bagi para oknum untuk melakukan praktek korupsi dan kolusi.
- Dengan berlakunya sistem ini, para oknum berkesempatan untuk memeras perusahaan perseroan dan atau pelaku usaha dengan dalih memenuhi peraturan perundangan.
Pengaruh negatif di atas dapat berkembang dan menjadikan iklim usaha di Indonesia menjadi tidak kondusif, sehingga dapat mengakibatkan larinya para investor ke luar Indonesia. Melihat pengaruh yang demikian besar, maka disarankan untuk mengajukan judicial review atas undang-undang No. 13 Tahun 2011.
Bila judicial review tidak mungkin untuk dilakukan, maka disarankan agar peraturan pemerintah yang sedianya akan dibuat dapat memuat hal-hal berikut ini:
- Definisi fakir miskin tidak hanya difokuskan pada kebutuhan manusia akan modal ekonomi/financial saja. Melainkan melihat kebutuhan manusia akan modal lainnya dengan merujuk pada teori modal/capital. Definisi ini diharapkan bisa memberikan kejelasan mengenai karakteristik fakir miskin, karena selama ini ada perbedaan antara versi Badan Pusat Statistik dengan Bank Dunia. Sehingga dapat dibedakan dengan jelas antara fakir miskin dengan vulnerable groups.
- Menjelaskan arti frase pemberdayaan pemangku kepentingan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penyalahgunaan tanggung jawab oleh oknum pemerintah terhadap pribadi maupun organisasi yang dianggap sebagai pemangku kepentingan pemerintah dengan dalih pemberdayaan pemangku kepentingan
- Memberikan penjelasan terhadap mekanisme penentuan sumber dana, terutama bagi dana yang berasal dari masyarakat. Harus diadakan pembatasan peran masyarakat agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang pada akhirnya akan mengalihkan tanggung jawab yang seharusnya diemban oleh negara menjadi tanggung jawab masyarakat (warga negara).
- Peraturan pemerintah dapat mengakomodir pemberian penghargaan bagi pihak yang telah memberikan kontribusi bagi penanganan fakir miskin, dimana teknis pemberiannya akan diberikan melalui Kementerian Keuangan atas dasar Peraturan Pemerintah No. 93 tahun 2010.
Demikian kesimpulan yang muncul dari diskusi ini. Harapannya, kajian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah serta para stakeholder terkait lainnya.
Bergabunglah dengan kami @