Pemangku kepentingan adalah organisasi atau individu yang mempunyai satu atau lebih kepentingan atas setiap keputusan atau aktivitas perusahaan/organisasi (ISO 26000).
Sebuah perusahaan yang mempunyai jutaan hektare lahan konsesi untuk sawit di Sumatera dikecam karena dianggap telah merusak lingkungan. Konsumennya, seperti Kraft, Nestle, dan Unilever dituding sebagai mitra pasif perusakan lingkungan. Mereka akhirnya menghentikan pembelian dari perusahaan tersebut dan mengakibatkan kerugian lebih dari 50 persen penjualan perusahaan minyak sawit tersebut.
Perusahaan Nike yang merupakan perusahaan pendesain dan penjualan sepatu pernah dituduh lembaga swadaya masyarakat (LSM) telah mempekerjakan anak di bawah umur (12 tahun) di Pakistan, memberi upah tidak layak kepada pekerjanya di Indonesia, dan mengacuhkan keamanan dan keselamatan pekerja di Vietnam. Semula, Nike mengacuhkan tudingan tersebut, karena menurut Nike yang melakukan hal-hal buruk tersebut adalah para pemasoknya. Namun, karena berita dan kampanye para LSM itu, penjualan Nike terpuruk drastis dan citra brandnya memburuk. Mau tidak mau, Nike lantas memperbaiki cara-cara berbisnisnya dengan menetapkan kode etik bagi para pemasok dan membina mereka agar berbisnis secara bertanggung jawab sosial.
Contoh di atas menunjukkan LSM sebenarnya tidak punya hubungan langsung dengan kegiatan perusahaan. Demikian pula para pemasok. Mereka tak berkaitan langsung dengan perusahaan. Namun, tindakan mereka ternyata dapat merugikan perusahaan. LSM dan pemasok inilah yang disebut pemangku kepentingan perusahaan.
Kekuatan dan Legitimasi. Siapakah pemangku kepentingan? Mereka adalah organisasi atau individu yang mempunyai satu atau lebih kepentingan atas setiap keputusan atau aktivitas perusahaan/organisasi (ISO 26000). Jenis paling umum dari pemangku kepentingan adalah pemegang saham, konsumen/pelanggan, pemasok dan distributor, pesaing, pemerintah, serta komunitas lokal (Friedman dan Miles, 2006). Pada perusahaan tambang, pemangku kepentingan biasanya digolongkan jadi tiga kelompok, yakni Ring 1, 2, dan 3.
Ring 1 adalah mereka yang tinggal di sekitar lokasi perusahaan; Ring 2 adalah mereka yang berada di tingkat kabupaten, termasuk desadesa tetangga; dan Ring 3 adalah mereka di tingkat provinsi maupun nasional.
Untuk menentukan pemangku kepentingan mana yang harus diprioritaskan, perlu dilihat siapa yang punya kekuatan (power), legitimasi, dan urgensi (Mitchell, Agle, dan Wood, 1997). Legitimasi adalah mereka yang mempunyai hubungan dengan perusahaan berdasarkan kontrak, hak hukum, hak moral, dan kemungkinan menanggung risiko atas dampak positif maupun negatif kegiatan perusahaan. Pemangku kepentingan dapat saja mempunyai legitimasi, tapi tidak mempunyai kekuatan, demikian pula sebaliknya. Pemangku kepentingan yang harus segera direspons perusahaan adalah mereka yang mempunyai ketiganya (power, legitimasi, dan urgensi).
Semua pemangku kepentingan mempunyai kekuatan. Namun, perlu diperhatikan kekuatan apa yang mereka miliki, apakah koersi, utilitas (utilitarian power), atau kekuatan normatif. Mereka yang berkekuatan koersi adalah yang dapat mengancam perusahaan secara fisik. Sementara mereka yang memiliki kekuatan utilitas adalah mereka yang punya kemampuan memasok atau menghentikan sumber daya untuk perusahaan, pemasok misalnya. Terakhir, mereka yang memiliki kekuatan normatif adalah mereka yang mampu mempengaruhi media, misalnya LSM melalui kampanye, dan tentunya media itu sendiri.
Mencegah Kerugian
Tampaknya para pemangku kepentingan tak berhubungan langsung dengan perusahaan, tapi jika perusahaan tidak mengacuhkan tindakan mereka, perusahaan dapat menderita kerugian signifikan. Mencegah kerugian ini tentu tindakan yang lebih baik.
Perusahaan, misalnya, penting memperhatikan keselamatan pemasok. Perhatian terhadap keselamatan pemasok ini perlu dilakukan tidak hanya oleh perusahaan besar, tetapi juga oleh perusahaan kecil dan menengah. Misalnya, sebuah restoran punya ketergantungan terhadap produk kelapa muda dari pemasoknya. Tampaknya pekerjaan pemasok adalah pekerjaan sepele, tapi ketika suatu hari pemasok tersebut terjatuh dari pohon kelapa maka pasokan bahan baku jadi terganggu.
Meski dapat segera diatasi, andai perusahaan lebih memperhatikan pemasok dan mengajari mereka tentang aspek keamanan dan keselamatan kerja, kejadian menyedihkan ini bisa dihindari. Di sini tampak penting memperhatikan cara-cara yang digunakan pemasok dalam menjalankan kegiatannya.
Aspek Pesaing
Perusahaan atau organisasi biasanya segera menarik batas dengan pesaing. Tetapi paradoksnya adalah penting bekerja sama dengan pesaing sebagai salah satu pemangku kepentingan. Misalnya, perusahaan yang menggunakan keindahan alam sebagai sumber utama bisnisnya tidak mungkin memelihara alam hanya di sekitar tempat yang dikunjungi konsumennya.
Tentu, kondisi alam di wilayah lain sekitar tempatnya berada juga perlu diperhatikan, yang mungkin berada di wilayah pesaing. Di sini perusahaan dapat melakukan aliansi strategis dengan mengajak mereka bekerja sama, misalnya dengan urunan dana pemeliharaan. Perusahaan wisata alam tersebut juga penting memberi pendidikan kepada agen wisata tentang wilayah mana yang aman dikunjungi wisatawan. Maka perusahaan dapat bekerja sama dengan asosiasi yang bersangkutan agar mempublikasikan informasi tentang wilayah mana saja yang aman. Ini karena kalau ada wisatawan yang mengalami kecelakaan di wilayah alam yang dikelola pesaing, dampaknya juga akan dirasakan perusahaan bersangkutan.
Perlu Dilibatkan
Banyak perusahaan telah melakukan pembinaan dan stakeholder engagement. Engagement dalam kamus berarti pertunangan atau perjanjian. Akan tetapi, dalam konteks ini yang dimaksud dengan engagement adalah melibatkan pemangku kepentingan. Stakeholder engagement berbeda dengan stakeholder responsibility atau tanggung jawab kepada pemangku kepentingan. Stakeholder engagement adalah kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk melibatkan pemangku kepentingan dalam hal-hal positif (Greenwood 2007), sedangkan stakeholder responsibility adalah tindakan organisasi yang memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan yang punya legitimasi (Greenwood, 2007).
Perusahaan dapat melakukan kegiatan yang melibatkan pemangku kepentingan sekaligus memperhatikan kepentingan mereka (engagement dan responsibility). Misalnya, membantu masyarakat sekitar memiliki keberlanjutan mata pencaharian (sustainable livelihood). Perusahaan juga dapat menjalankan kewajibannya pada pemangku kepentingan tanpa harus melibatkan mereka, yang disebut dengan pendekatan paternalistik (responsibility saja tanpa engagement). Misalnya, dengan membangun infrastruktur di wilayah komunitas yang tinggal paling berdekatan dengan perusahaan.
Akan tetapi, engagement bukanlah kegiatan bermoral jika menciptakan sistem yang menghasilkan ketergantungan pemangku kepentingan kepada perusahaan (Greenwood, 2001). Misalnya, membangun infrastruktur akses ke listrik maupun air yang canggih sehingga biaya pemeliharaan tinggi, tapi tidak memperhatikan kemampuan alam untuk menjadikannya sumber pembangkit listrik atau penyedia air, serta kearifan lokal untuk bergotongroyong memelihara infrastruktur tersebut.
Yang diharapkan adalah engagement yang menciptakan kerja sama saling menguntungkan. Misalnya, pelatihan kepada pemasok yang dapat meningkatan kapasitas profesionalisme mereka, sekaligus menguntungkan perusahaan.
Pada intinya perusahaan tidak bisa hanya memperhatikan pemangku kepentingan yang tinggal paling berdekatan, tapi juga semua yang punya legitimasi, power, dan urgensi dengan cara menjalankan bisnis yang bertanggung jawab sosial.
*Penulis adalah Direktur Program Magister Manajemen-Corporate Social Responsibility (MM-CSR) Universitas Trisakti.
Artikel ini telah dimuat pada Rubrik CSR di Sinar Harapan edisi Rabu 13 Juli 2011.
Bergabunglah dengan kami @